Langsung ke konten utama

Mau Dibawa ke Mana Pendidikan Indonesia?

Mau Dibawa ke Mana Pendidikan Indonesia?


image: https://alibaba.kumpar.com/kumpar/image/upload/w_50,h_50,c_fill,g_face,f_jpg,q_auto,fl_progressive,fl_lossy/main2_rqo7a5.jpg
kumparan
image: https://alibaba.kumpar.com/kumpar/image/upload/c_fill,g_face,f_jpg,q_auto,fl_progressive,fl_lossy,w_800/iojtmqoklml6vqqtp8ww.jpg
Anak Sekolah Anak sekolah. (Foto: Antara)
Bulan Juli, kehidupan di sekolah mungkin akan berubah bagi sebagian anak. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 yang mengubah durasi kegiatan belajar mengajar. Sekolah enam hari akan dipangkas menjadi lima hari sepekan. Namun, waktu di sekolah diperpanjang menjadi 8 jam.
Artinya, jika murid-murid masuk jam 07.00 pagi, bel pulang di sekolah mereka baru akan berdering pukul 15.00 sore.
Perubahan durasi belajar itu ialah lagu lama yang dibunyikan Muhadjir Effendy sejak ia diangkat menjadi Mendikbud menggantikan Anies Baswedan, Juli tahun lalu.
“Dengan sistem full day school, secara perlahan anak didik akan terbangun karakternya, tidak menjadi ‘liar’ di luar sekolah ketika orang tua mereka masih belum pulang kerja,” kata Muhadjir, Agustus 2016.
image: https://alibaba.kumpar.com/kumpar/image/upload/c_fill,g_face,f_jpg,q_auto,fl_progressive,fl_lossy,w_800/dfn4ccb1ae4m7bdo25sy.jpg
Mendikbud Muhadjir Effendy di DPRMendikbud Muhadjir Effendy di DPR (Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
Kebijakan bersekolah 5 hari sepekan, 8 jam sehari, merupakan sistem baru yang hanya mengubah jumlah jam pelajaran dan hari belajar, dengan tetap mempertahankan Kurikulum 2013. Dalam sehari, 8 jam di sekolah akan diisi oleh 4-5 jam kegiatan belajar di kelas, 1-2 jam ekstrakurikuler, dan 2 jam kokurikuler atau proyek mandiri.
Delapan jam di sekolah diharapkan menjadi solusi bagi statistik yang tidak bersahabat terhadap dunia pendidikan Indonesia. Menambahkan jam belajar dari 32 menjadi 40 jam sepintas logis melihat kualitas pendidikan yang belum baik.
Data soal sumber daya manusia Indonesia jarang memuaskan. Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang dirilis UNDP tahun 2016 menempatkan Indonesia di ranking 113 atau level menengah ke bawah.
Indonesia, yang disebut-sebut sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi paling cepat di dunia, dan kerap mengklaim sebagai satu dari sekian negara paling toleran di dunia, ternyata memiliki indeks pembangunan manusia tak lebih baik dari Venezuela (71), Lebanon (76), bahkan negara ekonomi menengah bawah seperti Suriname (97) dan Botswana (108).
Ketika bicara tenaga kerja misalnya, performa dunia pendidikan Indonesia masih gagap menyediakan hak bagi warganya. Produktivitas nasional, menurut data Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi RI tahun 2016, mengalami hambatan karena 76 juta atau 64 persen angkatan kerja hanya lulusan SMP.
Jikapun Muhadjir menganggap kebijakan 8 jam di sekolah diambil demi meningkatkan sumber daya manusia Indonesia, publik punya respons beragam.
Ada yang berpikir bahwa kebijakan tersebut akan mempermudah orang tua melakukan pengawasan karena memiliki jadwal berkantor sama dengan jadwal sekolah anak mereka. Waktu jam bekerja orang tua berakhir atau setidaknya hampir usai, si anak juga waktunya pulang, sehingga anak “dikembalikan” oleh sekolah kepada orang tuanya dengan aman, tak keluyuran dan bergajulan tak jelas di luar sekolah.
Itu konsep idealnya. Amat cocok bagi warga urban di kota-kota besar dengan pasangan orang tua yang sama-sama bekerja.
Namun kentara sungguh tak pas dengan anak-anak di daerah-daerah yang kerap membantu bapak ibunya bekerja sepulang sekolah di ladang, di sawah, di kebun, atau sekadar menjaga dagangan di warung.
Hal lain, kebijakan 8 jam di sekolah --yang diminta Muhadjir tak disebut full day school-- dicemaskan akan membuat anak didik jenuh karena ia mesti seharian di sekolah. Dan memang itulah yang terjadi pada beberapa anak yang pernah bersekolah model begitu.
Mereka kesal karena tak punya waktu untuk bermain dengan teman sebaya di lingkungan rumah mereka. Anak-anak ini lantas tumbuh lebih “antisosial” di lingkungan tempat tinggalnya, tak kenal tetangga kanan-kiri, dan akhirnya merasa tak terlalu peduli pula.
Namun Kemendikbud punya pendapat lain. Salah satunya, 8 jam di sekolah perlu untuk menggenjot pendidikan karakter anak. Toh, pendidikan wawasan ini tak melulu dengan kegiatan belajar di dalam kelas. Di dalamnya, ekstrakurikuler juga termasuk.
Itu sebabnya Muhadjir tak mau 8 jam di sekolah disebut full day school, karena si anak tak belajar terus-menerus sepanjang 8 jam itu.
image: https://alibaba.kumpar.com/kumpar/image/upload/c_fill,g_face,f_jpg,q_auto,fl_progressive,fl_lossy,w_800/dyfmaypm5etmzct76arz.jpg
Anak SekolahAnak Sekolah (Foto: ANTARA FOTO/Kornelis Kaha)
Regulator Indonesia memang cukup sering bongkar pasang kebijakan. Sejak 1947 sampai 2013, Indonesia memiliki 10 kurikulum berbeda. Pergantian kurikulum biasanya muncul ketika pergantian rezim atau menteri baru mengisi jabatan.
Transisi Kurikulum 2006 ke Kurikulum 2013 misalnya tak berjalan mulus. Perubahan paradigma pengajaran saat itu membuat instansi pendidikan kebingungan menyesuaikan diri. Pemahaman teknis antardaerah juga tidak merata. Hingga akhirnya, belum lama sejak disahkan, Anies Baswedan yang menjabat Mendikbud saat itu, langsung mencabutnya.
Untuk menghindari pendidikan dari tarik ulur politik dan kepentingan apapun, cetak biru jelas diperlukan. Blueprint ini berfungsi untuk menjaga konsistensi kebijakan pendidikan.
“Tidak adanya cetak biru pendidikan Indonesia yang permanen, menyebabkan kurang jelasnya peran pendidikan dalam tahapan pembangunan bangsa. Terdapat ketidaksinambungan kebijakan pendidikan negara, dari dasar, menengah, hingga tinggi, serta keterkaitannya dengan seluruh sektor pembangunan,” kata Ketua Senat Akademik IPB yang juga Guru Besar Bidang Kebijakan Ekonomi Kelautan, Prof. Tridoyo Kusumastanto, saat memperingati Hari Pendidikan Nasional di Bogor, seperti dikutip dari Antara.
Secara terpisah, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kemdikbud, Ari Santoso, mengakui kekuragan itu. “Mendikbud menyadari keterbatasan akan fasilitas, luas daerah (kerja), SDM. Maka dari itu dilakukan secara bertahap,” kata Ari kepada kumparan (kumparan.com), Kamis (15/6).
Menurutnya, perdebatan publik tentang jam sekolah hanya melihat permasalahan dari permukaan.
“Justru kami menata apa yang selama ini belum tertata. Guru sebagai PNS (pegawai negeri sipil) bisa seperti ASN (aparatur sipil negara) lainnya yang kerja 5 hari (sepekan) saja. Pemadatan waktu kami lakukan untuk memasukkan kegiatan ekstrakurikuler dan laboratorium menjadi kegiatan pendidikan yang selama ini tidak dihitung,” ujar Ari.
Tapi sesungguhnya, kebijakan tersebut tak sesempit perdebatan harus jam berapa pelajar Indonesia pulang sekolah. Melampaui diskusi soal jam dan jumlah hari sekolah, kebijakan pendidikan adalah bentuk kebijakan publik tentang bagaimana negara melihat warga mudanya yang notabene generasi penerus bangsa.
Pendidikan memang aspek vital dalam kehidupan publik yang harus diatur. Dan tarik ulur kebijakan pendidikan ditujukan untuk mencapai cita-cita nasional soal generasi penerus.
Cita-cita itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), di mana negara menempatkan peserta didik sebagai “pemikir” yang harus aktif mengembangkan diri.
Untuk mendukung UU Sisdiknas itulah, Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah hadir. Ia menjadi landasan teknis guna menyokong kerangka normatif berupa cita-cita menciptakan insan religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan berintegritas.
Penguatan karakter menjadi aspek yang paling ditonjolkan dalam Permendikbud ini. Satu hal lain yang disebut Permendikbud 23/2017 menjadi tantangan dunia pendidikan Indonesia ialah globalisasi.
Lewat Permendikbud 23/2017, Kemendikbud tampak ingin menarik seluruh kegiatan pendidikan yang selama ini tak hanya didapat dari sektor formal, untuk terpusat di sekolah. Dan mendidik karakter anak diharapkan bisa menolong Indonesia berdaya di era globalisasi.
Namun, di tengah keterbatasan fasilitas yang disediakan pemerintah, banyak anak mencari pengalaman di luar institusi pendidikan, dan hal ini disikapi dingin oleh Kemdikbud.
Adi mengambil contoh kasus anak yang belajar musik di luar. “Misal anaknya jam 1 pulang, di rumah tidak ada yang monitor. Lalu mereka nongkrong di jalanan lalu main musik. Pilih mana, main musik di jalan atau di sekolah?”
Kritik tentang bias kelas menengah juga menyeruak. Di beberapa tempat, anak-anak memiliki dunia yang tak sempit. Ia bisa membantu orang tua sepulang sekolah, dan bermain dengan teman-teman di alam.
“Ada yang mengaku anaknya pulang ke pasar, apa yakin anak akan belajar sesuatu yang baik (di pasar)? Terus ada yang ke laut, berbahaya kalau ada gak ada yang ngontrol meninggal, bahaya,” ujar Adi.
Jelas sudah, kebijakan ini jauh dari alam pikir anak-anak daerah yang punya kehidupan amat berbeda dengan kawan mereka di kota-kota besar di Pulau Jawa.
image: https://alibaba.kumpar.com/kumpar/image/upload/c_fill,g_face,f_jpg,q_auto,fl_progressive,fl_lossy,w_800/j7zjtdpvyvpjppuqddlu.jpg
Anak SekolahAnak Sekolah (Foto: Antara)
Jangan dulu berlebihan membayangkan 8 jam di sekolah akan diterapkan segera. Sebab Permendikbud ini belum memiliki petunjuk teknis pelaksanaan. Kebijakan disebut akan berproses dengan fleksibel.
“Kami justru memasukkan ekstrakurikuler yang selama ini tak dihitung, menjadi aspek pendidikan di sekolah. Ini yang disebut tiga aktivitas. Aktivitas di kelas, di sekolah, dan di masyarakat. Anak-anak itu aktivitas bukan hanya belajar, tapi juga kokurikuler yang sesuai keinginan mereka. Misalnya, kalau anaknya gak suka olahraga, bisanya musik, ya jangan dipaksa olahraga,” kata Adi.
Dengan belum adanya petunjuk teknis pelaksanaan kebijakan 8 jam di sekolah, kritik dan saran masih sangat diperlukan.
Full day school sendiri menjadi sorotan dalam diskursus psikologi anak dan ilmu pendidikan. Sebuah penelitian jaringan psikolog AS yang dipimpin Noelle Leonard dari New York University menyebutkan, hampir seluruh pelajar SMA di AS mengalami depresi karena berbagai faktor yang justru datang dari peraturan pendidikan.
Alasan paling menonjol adalah karena tugas yang menyita waktu senggang mereka. Sebanyak 48 persen siswa mengaku depresi karena waktu yang hilang, dan hal itu jadi alasan depresi nomor satu ketimbang alasan lain seperti nilai jelek, suasana sekolah tak nyaman, atau punya masalah pribadi.
Kerentanan semacam itu, menurut Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), membuat penentuan jumlah jam di sekolah krusial dan butuh pertimbangan serius.
OECD menyarankan bahwa waktu belajar yang cukup merujuk pada target hasil pembelajaran yang maksimal. Namun, nyinyiran merenggut hak bermain anak adalah sesuatu yang serius. Di negara-negara maju, kesuksesan penyelenggaraan pendidikan dasar justru didukung oleh kebiasaan bermain.
Prof Teresa Cremin dari Open University Amerika Serikat menyatakan anak harus dibiarkan bermain untuk menjalani proses belajar dengan cara mereka sendiri.
“Ketika anak dibiarkan terus bergerak aktif, kreativitas akan terbangun dengan sendirinya. Anda perlu ingat, kreativitaslah yang akan memenangkan persaingan saat ini,” ujar Teresa kepada The Guardian.
Pakar lain, Tim Taylor, mengajukan gagasan serupa. Ia mengatakan, intervensi orang dewasa harus dibuang jauh ketika anak bermain, agar anak dapat mengeksplorasi diri dalam dunia imajinasi mereka.
“Bermain adalah pembelajaran yang efektif bagi anak --yang bahkan lebih efektif dari belajar tradisional, perintah, dan intervensi orang dewasa,” kata dia.
Baiklah, jikapun anak Indonesia harus berada di sekolah dari pagi hingga sore, semoga mereka tetap memperoleh senja yang ceria.

Read more at https://kumparan.com/ardhana-pragota/mau-dibawa-ke-mana-pendidikan-indonesia#hW738qT4x8QTMy1m.99

Komentar

Postingan Populer