Kenyataan Tentang Politik
OPINI, RR – Apa kabar hasil penjaringan calon Walikota oleh partai-partai politik di Kota Bengkulu?. Pertanyaan ini layak kita munculkan untuk sekedar tahu bagaimana hasil yang didapatkan dari proses yang bergengsi tersebut. Karena kabar dan berita tentang proses penjaringan oleh partai-partai itu sempat ramai menghiasi media cetak lokal beberapa bulan yang lalu. Diantaranya dilakukan oleh pengurus partai Golkar, Partai PPP, PKB, serta Hanura yang ada di tingkat Kota Bengkulu. Berhubung proses awalnya telah disampaikan ke publik, maka publik juga berhak untuk mengetahui bagaimana hasil akhir serta alasan-alasan logis dari keputusan itu.
Memang dari awal, masih banyak pihak yang meragukan proses penjaringan calon oleh partai-partai politik. Kadang dalam benak publik itu hanya akal-akalan partai politik untuk menaikkan popularitas dan daya tawarnya. Bahkan sering terdengar ditelinga kita bahwa hanya ada dua alasan saja jika mau diusung oleh partai politik. Pertama ia harus dekat dengan ketua-ketua umum partai ditingkat nasional, kedua harus mempunyai modal finansial yang banyak. Namun, alasan yang kedua sepertinya lebih dominan dilakukan. Sementara alasan pertama, tetap mengikuti alasan kedua.
Jika hal ini benar terjadi maka kita patut menduga bahwa parpol tidak serius melakukan penjaringan. Hal itu tidak lebih hanya pertunjukan drama belaka. Nah berarti apa yang disampaikan oleh Erving Goffman dalam teori Dramaturgi-nya sangat mengena. Dimana menurut teori tersebut, kehidupan sosial manusia tidak ada ubahnya seperti pementasan drama. Manusia sebagi aktor, memiliki dua panggung yakni back stage dan front stage. Di front stage, sang aktor menjalani drama sangat sempurna persis seperti apa yang telah dituliskan dalam naskah sang sutradara. Namun, siapa sangka di back stage, sang aktor punya lakon yang bertolak belakang dengan naskah tersebut. Begitu pula yang dapat dilakukan oleh partai politik. Di front stage, melakukan proses penjaringan sesuai prosedur seakan sesuai dengan harapan publik. Namun, dibalik layar parpol bermain api dengan kekuatan-kekuatan “ghaib” yang tak terlihat. Sehingga pada akhirnya publik terpukau dan tertipu dengan sajian drama sang parpol.
Sesungguhnya sikap pesimistis yang dilontarkan publik tersebut bukanlah tidak berdasar. Namun tentu hal tersebut didasari pengalaman dan realita yang tersajikan ke ruang publik dalam setiap moment pilkada. Adakalahnya, calon yang sangat didukung publik serta memiliki kapasitas untuk menjadi pemimpin, ketika mendaftar menjadi tidak lolos penjaringan oleh partai politik. Tanpa disertai penjelasan logis dan terbuka perihal alasan ketidaklolosannya. Namun, ada juga fenomena, dimana ada calon yang tidak pernah mendaftar dan mengikuti proses seleksi yang diadakan oleh partai, akan tetapi lolos menjadi calon tetap yang diusung oleh partai politik saat didaftarkan ke KPU.
Membaca harian Radar Bengkulu (Edisi Sabtu,19/08/17) semakin memperkuat dugaan publik tentang hal diatas. Dihalaman utama, termuat judul berita “Calon Bisa “Potong Kompas” di Jakarta : Hasil penjaringan di Bengkulu Bisa berubah”. Didalamnya disebutkan bahwa Hasil penjaringan bakal calon Walikota/Wawali di Bengkulu bisa berubah total. Sebab calon bisa saja “potong kompas” lewat DPP Partai di Jakarta. Hal ini yang diprediksi yang akan dilakukan H. Helmi Hasan, SE yang hingga kini belum menyatakan sikap untuk kembali maju dalam pemilihan Walikota (pilwakot) 2018 mendatang. Dengan membaca berita tersebut, timbul lagi pertanyaan dalam benak publik, jadi untuk apa ada proses penjaringan yang di lakukan oleh partai politik di tingkat bawah, jika toh hasilnya bisa “diamputasi” lewat atas?
Entah seperti apa sebenarnya pola dan mekanisme yang dilakukan oleh partai politik dalam proses penjaringan bakal calon tersebut. Beberapa pertanyaan yang penting untuk dijawab, yakni apa saja syarat utama yang harus dimiliki calon, bagaimana proses penilaian yang dilakukan, siapa yang melakukan menilai, serta apa pertimbangan bagi calon yang lolos maupun tidak lolos. Namun publik tidak dapat mengetahui proses itu secara detail. Mungkin saja hanya pengurus parpol dan Tuhan yang tau. Kadang sering dibuat alibi bahwa proses itu masuk keranah dapur organisasi sehingga bukan untuk dikonsumsi publik. Boleh jadi argumen itu benar boleh juga tidak.
Menurut hemat penulis, terlepas mekanisme penjaringan bakal calon itu menjadi hak parpol yang bersangkutan, namun juga menjadi kewajiban publik untuk mengawasi proses tersebut. Agar proses itu dapat berjalan sesuai dengan harapan bersama, yakni memunculkan calon pemimpin daerah yang berkualitas.
Sejatinya, proses penjaringan bakal calon oleh parpol sangatlah baik. Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi, yakni memberikan kesempatan yang sama bagi warga negara untuk menjadi pemimpin rakyat. Dengan proses tersebut, maka diharapkan muncul calon-calon terbaik yang diharapkan masyarakat. Akan tetapi, agar proses penjaringan itu tidak dikatakan sebagai agenda seremonial belaka, maka menurut hemat penulis, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh partai-partai politik dalam proses penjaringan bakal calon kepala daerah kedepan.
Pertama, hendaklah pembukaan pendaftaran dilakukan jauh-jauh hari sebelum proses pilkada itu berlangsung. Minimal 3 tahun sebelum pilkada dilaksanakan. Hal ini tentu sangat penting, selain partai lebih matang persiapan kerja, kemudian calon yang dihasilkan juga akan lebih siap bertarung nantinya. Jika calon telah ditentukan jauh-jauh hari, maka kandidat akan memiliki waktu yang lebih panjang untuk mensosialisasikan diri dan menyusun strategi.
Kedua, menetapkan kriteria/syarat yang jelas dan terukur. Sehingga syarat bagi pendaftar tidak hanya sesuai kehendak parpol, namun juga harus memenuhi selera publik. Oleh karena itu, tidak ada salahnya juga jika partai politik melibatkan masyarakat dalam menentukan kriteria pemimpin yang dibutuhkan kedepan.
Ketiga, membentuk tim penilai yang independen. Agar hasil yang diharapkan lebih objektif, maka sebaiknya tim penilai atau penyeleksi juga melibatkan pihak luar yang memang mempunyai kapasitas. Penulis rasa ada banyak akademisi yang siap untuk dilibatkan. Jadi, pigur-pigur yang mendaftar dalam proses penjaringan tersebut, memang diuji kesiapan-kesiapannya. Sejauh mana visi dan misi yang dicanangkan untuk membangun daerah. Bukan hanya untuk gagah-gagahan semata.
Terakhir, untuk memberikan pendidikan politik kemasyarakat, hendaknya hasil penilaian yang diberikan oleh tim penilai terhadap para kandidat dari proses penjaringan tersebut juga diumumkan kepublik, jika perlu muat dimedia cetak. Hal ini tentu menghilangkan praduga negatif dari para kandidat atas adanya kecurangan dari proses itu. Sehingga masing-masing kandidat dapat mengetahui kelebihan dan kelemahan masing-masing. Serta bagi masyarakat umum dapat dijadikan referensi seperti apa kriteria calon yang layak dipilih menjadi pemimpin kedepan.
Memang penulis menyadari bahwa, masukan yang diberikan tidaklah mudah untuk dilakukan, namun bukan berarti tidak bisa. Hanya butuh kemauan untuk berbenah. Agar proses yang dilakukan tidak menjadi sia-sia. Sehingga, antara harapan dan kenyataan dapat bertemu diruang yang sama.
Penulis: Sepri Yunarman, M.Si (Direktur Eksekutif BSIC (Bengkulu Survey and Information Center)
Komentar